Sumber : Facebook
Fanpage : Komunitas Bisa Menulis.
PERTANDA KEMATIAN
"Mas, kamu denger nggak sih? Berisik banget suara keranda di sebelah. Kenapa nggak dipindah aja ke mushola sih kerandanya?" ketusku pada Mas Rendi.
Sedari tadi kami mencoba memejamkan mata, tapi selalu saja gagal karena harus terganggu oleh suara keranda. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Istighfar, Yar! Itu bisa jadi pertanda akan ada orang yang meninggal dalam waktu dekat. Lagian keranda itu sudah ada di sini dari semenjak aku kecil," ujar Mas Rendi.
"Kenapa harus di sini sih, Mas? Nggak ada tempat lain emangnya?" protesku lagi.
"Dari keranda lama, sampai ganti keranda baru, selalu ditempatkan di sini. Dulu Bapak ketua RT, dan keterusan sampai sekarang kerandanya di sini," sahutnya.
Aku hanya bisa terdiam menahan rasa sebal. Kapok rasanya ikut tinggal di kampung suami. Seminggu pertama kami masih hidup tentram.
Namun, hari ini rasa tentram itu tiba-tiba saja terusik. Dari tadi sore, keranda yang diletakkan di ruang khusus samping rumah ini terus menerus mengeluarkan suara deritan.
Beberapa menit, memang keranda itu sempat terdiam. Mas Rendi pun tampaknya sudah terlelap. Namun, kali ini suara itu kembali terdengar.
Bukan hanya merasa sebal, jujur saja aku juga takut. Imajinasiku berkeliaran membayangkan hal-hal menyeramkan.
Terbayang di otakku bagaimana rupa mayit yang sudah dipocong dengan kain kafan. Terbayang pula hantu di film-film horor yang pernah kutonton.
Di tengah kegelisahanku melawan rasa takut, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu depan. Siapa ya? Apa Bapak mertua yang baru pulang dari ronda?
"Masss ... bangun!" Aku mencoba membangunkan Mas Rendi. Berharap ia mau menemaniku membuka pintu.
Sialnya, Mas Rendi tetap sulit dibangunkan. Terpaksa, aku harus berani membuka pintu sendiri.
Hening. Belum terdengar lagi suara keranda. Namun, aroma cendana menguar di dalam rumah ini. Aromanya persis seperti aroma jenazah yang sedang dikafani.
Aku melangkah pelan menuju pintu depan. Sempat mengintip melalui celah tirai jendela. Ternyata ada sesosok perempuan hamil besar berdiri di depan. Pintu pun kubuka perlahan.
"Mbak Asih?" panggilku.
Mbak Asih adalah istri tukang sayur di tempat kami. Rumahnya berada di ujung gang. Aku mengenalnya karena sering belanja ke sana.
"Maaf mengganggu malam-malam, Mbak. Saya disuruh ambil kain kafan. Ada yang meninggal," ucapnya.
"Innalillahi, siapa yang meninggal, Mbak? Orang sini?" Sempat kaget. Ternyata benar kata Mas Rendi. Ada orang meninggal.
"Iya, Mbak."
"Ohh, bentar ya, Mbak Asih. Saya bangunin suami saya dulu, ya. Mbak duduk aja dulu. Sini masuk!" ajakku.
"Nunggu di sini aja, Mbak. Suami saya udah nungguin di depan," tolaknya dengan senyum ramah.
"Oke, bentar ya, Mbak."
Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan membangunkan Mas Rendi. Selain menjadi tempat penyimpanan keranda, rumah Bapak mertua juga dipercaya sebagai tempat penyimpanan kain kafan milik desa.
"Mas! Ada yang mau ambil kain kafan. Massss!" teriakku hingga membuat Mas Rendi gelagapan.
"Hah? Kafan? Kain mori maksudnya? Siapa yang meninggal?" Mas Rendi bergegas turun dari ranjang dengan mata merah. Ia langsung masuk ke kamar kosong di sebelah kamar kami.
Tak berselang lama, Mas Rendi keluar dari kamar kosong dengan membawa lipatan kain putih. Kami berdua buru-buru menuju ruang depan untuk memberikan kain kafan.
"Heh, pada kenapa gugup-gugup begini?" tanya Bapak yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.
"Eh, Bapak. Ini tadi ada Mbak Asih datang mau ambil kain kafan. Ada orang meninggal ya katanya? Siapa, Pak?" tanyaku balik.
"Hah? Asih? Yang bener kamu?" Entah mengapa tiba-tiba Bapak berteriak seperti kaget.
"Iya. Mbak Asih, Pak," sahutku.
"Astagfirullahalazim. Asihhhhh ...." Bapak menggeleng pelan. Ia terduduk lemas di kursi yang ada di dekat kami.
Kami pun bingung dengan reaksi Bapak. Ada apa sebenarnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar