Seorang laki-laki menatap kosong. Menyeka pipi…. Berbisik pelan….
Sus, Ingatkan kamu saat kita bertemu pertama kali. Di jembatan merah….
Lantas pertemuan demi pertemuan berikutnya. Aku membawakanmu setangkai bunga rumput teki. Kamu tertawa.
Kita satu kampus, mahasiswa baru bersama-sama. Lulus bersama. Lantas aku melamarmu....
Kita mengontrak di rumah gang kecil itu. Tapi terasa lapang dan luas…. Perjalanan bersama kita telah dimulai.
Si sulung lahir. Ingatkah kamu, Sus, saat dia demam dan kita tidak punya uang untuk membawanya ke dokter.
Usaha kita mulai beranjak maju. Aku membelikanmu perhiasan pertama untukmu. Anak kembar kita lahir…. Kita memutuskan mencicil rumah. Di kompleks itu, kamarnya dua. Anak keempat, si Bungsu, lahir….
Bisnis kita jatuh bangun. Tapi kamu tetap memberikan dukungan. Percaya kita pasti bisa melewatinya. Siang-malam kamu ada di sisiku. Selalu ada untuk memberikan semangat.
Ingatkan kamu, Sus, saat anak-anak kita masuk sekolah, hari pertama. Kita mengantarnya hingga gerbang sekolah. Dan mereka beranjak besar. Lulus dengan nilai-nilai baik. Kuliah di tempat-tempat jauh.
Ingatkah kamu saat Si Sulung menikah. Disusul anak kedua dan ketiga. Lantas putri terakhir kita juga menikah. Kamu menangis bahagia menyaksikannya.
Anak-anak kita memulai perjalanan masing-masing. Kamu amat bangga melihatnya. Mereka sangat beruntung memiliki Ibu sepertimu.
Dan waktu terus berlalu cepat.
Rambutmu sudah memutih, juga rambutku. Kita semakin menua.
Kita menghabiskan waktu bersama menatap senja di teras rumah. Kamu mulai terlihat lelah, tapi tetap selalu berusaha menyiapkan sarapan untukku.
Ingatkah kamu semua itu.....
Seorang laki-laki menatap kosong tubuh yang terbaring kaku di depannya. Menyeka pipi…. Berbisik pelan….
Kamu tidak pernah meminta apapun.... Kamu memilih hidup bersamaku, tanpa syarat apapun.... Susah senang, selalu ada di sampingku.
Tapi sekarang kamu telah pergi.
Sus, bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku? Sungguh, aku tidak tahu lagi.
Sendiri....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar