Jumat, 21 Oktober 2022

Komunitas Bisa Menulis akun Bumi Berputar

Copas dari grup FB : komunitas bisa menulis
Akun: Bumi berputar

Kangen Saat bapak memotong ayam.

25 tahun yang lalu, di daerah terpencil pedalaman Sumatera, saya kecil hidup di tengah keluarga yang sangat hangat. Bapak hanya seorang petani miskin dan mamak ibu rumah tangga biasa, tapi Ia sangat terampil mengerjakan apapun. Saya bungsu dari 4 bersaudara, hidup rukun dalam kekurangan, tapi kekurangan yang tak pernah kelaparan.

Pagi itu sangat sibuk, mamak fokus di depan tungku. Memasak sarapan dengan lauk tumis pakis merah dan telur dadar 1 butir yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga cukup untuk dimakan berenam, mamak memang sangat hebat. 

Setelah kenyang kami bergegas ke rutinitas masing-masing, ketiga abang berangkat ke sekolah sedangkan saya terkadang ikut bapak ke ladang. Bapak mendorong gerobak angkong saya naik di atasnya sambil bernyanyi-nyanyi. Saya benar-benar bahagia.

Jam 12 siang ibu menyusul ke ladang untuk mengantar makan siang bersama abang, mereka semua sudah pulang sekolah. Seperti biasa kami makan bersama di saung yang dibuat bapak untuk tempat sholat dan istirahat.

Ketika ingin makan ikan kami akan mencari ikan di sungai, jika hasilnya banyak kami akan berbagi ke tetangga kiri kanan. Tak pernah kami menimbun-nimbun makanan. Karena jangankan kulkas listrik pun tak ada. Tapi heran, kami tak pernah kelaparan.

Semua terasa nikmat.. benar-benar nikmat..

Bapak sangat jarang memotong ayam, mungkin hanya sebulan sekali, karena ayam peliharaan lebih sering dijual ke pasar untuk tambahan biaya sekolah.

Malam itu saat akan tidur, bapak mengatakan, "kalian cepat tidur nak, besok bapak akan memotong ayam."

Bahagia sekali mendengarnya, 

Di subuh hari, bapak ke kandang untuk menangkap ayam, harus dilakukan subuh hari karena jika telat sedikit saja ayam sudah lepas berkeliaran.

Kami menonton bapak memotong ayam, membersihkan bulu sampai mencacahnya menjadi bagian-bagian kecil. Kami sengaja tak sarapan agar benar-benar lapar saat ayamnya matang nanti.

Saat bapak mulai mencuci potongan ayam, kami riang berebut bagian.

"Aku pahanya ya"

"Aku hati sama usus"

"Aku sayap biar bisa terbang"

Padahal kami tahu, ayamnya telah dipotong kecil-kecil. Sulit mencari mana paha, mana sayap.

Mamak menggiling bumbu, memarut kelapa, mulai menumisnya.. aromanya kemana-mana.

Tungku mengebul, nasi telah matang.

Gulai ayam, menu andalan mamak. Lezat sekali rasanya.

2 mangkuk kecil mamak sisihkan untuk kemudian diantar ke tetangga kiri kanan, 

Kenikmatan tiada tara.. masa lalu..

Saat ini, rumah papan bapak sudah berubah menjadi rumah gedung, tungku sudah tidak ada, masak ayam kapanpun bisa.

Kami berempat terpencar dengan takdir kehidupan masing-masing. 

Nasib semakin baik entah mengapa yang saya rindukan malah saat-saat seperti itu, saat mandi di sungai, saat mandi hujan, terutama saat bapak memotong ayam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teh tubruk khas Slawi tegal

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu.

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Lebih bahagia malah, lebih banyak waktu buat diri sendiri. Kar...