Jumat, 09 September 2022

Buku tere Liye tanah para bandit episode 6

Buku Tere Liye : Tanah para bandit 

Sumber : copas dari Facebook Tere Liye

Episode 6 Misi Pertama


Sepulang dari hutan bersama Abu Syik, waktu berjalan sangat cepat. 
Tiba di rumah, Abu Syik menyuruhku mengambil mangkok kaleng, juga lumpang dan batu tumbuk. Abu Syik mengeluarkan semua daun, batang, buah dan akar yang aku ambil di hutan, meletakkannya di atas meja. Dia tahu persis apa yang harus dia lakukan, mulai membuat takaran, menumbuk sebagian akar dan batang tersebut. 
“Jerang air, Padma!” Abu Syik menyuruh.
Aku segera mengambil ceret besi.
“Gunakan kaleng bekas, jangan ceret biasa, atau nanti kita semua keracunan.” 
Aku mengangguk, mencari kaleng di antara tumpukan kayu bakar. Ketemu, ada kaleng bekas sarden. Menyalakan api, menuangkan air ke dalam kaleng.
Lima belas menit.
“Masukkan ini ke dalamnya.” Abu Syik menyerahkan daun dan buah yang telah dicacah.
Aku mengangguk. Memasukkan potongan daun dan buah hati-hati. Air mulai mendidih, mengeluarkan kepul uap. Cairan di dalam kaleng segera berubah menjadi hijau.
“Buka jendela belakang, Padma. Kamu bisa pingsan menghirupnya.”
Aku mengangguk, bergegas membuka jendela, juga pintu—biar lebih aman. 
Lima menit, giliran Abu Syik menumpahkan tumbukan halus dari lumpang ke dalam ceret besi. Uap semakin mengepul dari kaleng bekas itu. Aku reflek mundur dua langkah. Aku belum pernah setegang ini memasak sesuatu.
Cairan hijau semakin kental. 
Lima menit lagi berlalu, berkali-kali aku menahan napas, Abu Syik memadamkan api di tungku dengan menggeser kayu bakar, lantas dengan serbet tebal mengangkat kaleng itu, sambil menyuruhku mengambil botol. 
Aku bergegas mencari botol bekas minuman sarsaparila. 
“Ambilkan kain yang tidak digunakan lagi.”
Aku mengangguk, mencari kain di dalam lemari, menyerahkannya. 
Abu Syik menumpahkan air dari kaleng ke dalam botol, setelah disaring dengan kain. Satu-dua tetes cairan hijau itu memercik ke tangannya. Aku menatap Abu Syik cemas.
Kakekku menyeringai, seperti tahu apa yang kukhawatirkan, “Racun ini tidak akan membunuhmu jika hanya mengenai kulit, Padma. Tapi jangan coba-coba meminumnya. Bekas kaleng ini misalnya, walaupun telah kering, kamu gunakan untuk minum, cukup untuk membunuhmu.”
Aku menelan ludah. Menatap cairan berwarna hijau di dalam botol kaca. Hei, aku termangu. Seiring suhunya mendingin, cairan itu berubah perlahan menjadi jernih kembali. Persis seperti air biasa. 
“Sempurna.” Abu Syik menyeringai menatapnya, menutup mulut botol kaca dengan plastik, lantas mengikatnya dengan karet gelang, “Racun ini telah siap.”
Aku menatap botol itu. Air jernih ini racun? Bagaimana jika orang tidak tahu ini racun, lantas meminumnya? Kenapa Abu Syik membuat racun mematikan ini?
“Kita berangkat, Padma.” Abu Syik memotong pertanyaan di kepalaku.
Aku menatap Abu Syik? Kemana? Sekarang?
“Iya!” Abu Syik berseru lantang, telah melangkah menuju pintu depan.
Aku mengangguk. Bergegas menyusulnya. Lupakan jendela dan pintu belakang yang belum ditutup, atau nanti Abu Syik akan mengomel. Botol kaca itu dimasukkan ke dalam buntalan kain. Abu Syik berjalan cepat dengan langkah kakinya yang lebar. Aku mengiringinya. Tidak banyak bicara lagi.
***
Tiga jam kemudian, setelah melewati jalan setapak, naik turun lereng, melintasi perkampungan lain, melewati jembatan gantung, kami tiba di kota kecamatan. Terik, pukul sebelas siang. Kota kecamatan itu tidak besar, 80-90 rumah, dengan lapangan di tengahnya. 
Lapangan itu ramai, sedang ada pasar pekan. Aku menatap sekitar, mobil-mobil yang parkir, menaikkan dan menurunkan barang-barang dagangan. Pedagang dari kota kabupaten datang menjual ember, kuali, peralatan masak, cangkul, semua ada. Di sisi sana, ada yang berjualan pakaian, ditumpuk di meja. Warna-warni, untuk perempuan, laki, kecil tua, juga sendal, sepatu, topi, semua serba ada. Sementara penduduk setempat menjual hasil ladang. Tandan pisang bertumpuk. Durian, mangga, duku, di hampar di atas meja. Juga bubuk kopi dalam bungkus plastik, anyaman, hasil kerajinan, dan sebagainya.
Pasar pekan ramai. 
Aku terus mengikuti Abu Syik, memastikan tidak tertinggal, melintasi pembeli yang memadati pasar. Tiba di tepi lapangan, yang ada jalan aspal, Abu Syik berhenti, menatap deretan mobil. Gerakan kepalanya terhenti saat melihat mobil jeep tua di pojok. Abu Syik mampir sejenak ke toko kelontong, membeli roti dan botol minuman, lantas dia mendekati mobil jeep tua itu.
Abu Syik membuka pintunya, naik, duduk di belakang kemudi. Meski aku heran, ini mobil siapa, aku berlarian segera naik sebelum diteriaki. Duduk di kursi depan, di samping Abu Syik, memangku kantong plastik berisi roti dan botol minuman. 
Tangan Abu Syik segera menyalakan mobil jeep. Kursi tempatku duduk bergetar pelan saat mesin mobil menggerung. Aku menatap Abu Syik. Bagaimana jika pemilik mobil ini tahu? Kami mencurinya? Beberapa detik kemudian, mobil jeep itu justeru meluncur di atas aspal, meninggalkan lapangan pasar pekan. 
Aku hendak bertanya. Juga berseru cemas. Tapi batal. Wajah Abu Syik terlihat serius. Tangannya lincah memegang kemudi, juga kakinya yang menginjak gas, kopling dan rem silih berganti.
“Kamu lapar, Padma?” Abu Syik bertanya, menoleh.
Aku ikut menoleh, menatap kakekku. 
Aku sama sekali tidak lapar. Dari tadi aku antusias, bingung, cemas, heran, takjub dan entah apalagi bercampur jadi satu. Seumur-umur aku belum pernah naik mobil. Ini kali pertama, dan aku tidak tahu jika Abu Syik lihai mengendalikan mobil tua ini. Melewati kelok-kelok jalanan aspal, melintas di tengah hutan lebat. Mobil jeep tua ini tidak memiliki atap, angin memainkan rambut panjangku. Aku bisa melihat sekelilingku dengan bebas. Jalanan sepi—hanya sesekali berpapasan dengan mobil lain.
“Jika kamu lapar, kamu bisa makan duluan.” 
Aku mengangguk. Daripada nanti Abu Syik mengomel, aku membuka kantong plastik, mengeluarkan sepotong roti dan salah-satu botol air minum. 
Mobil jeep tua itu terus melaju di jalanan. Aku mulai merobek roti, mengunyahnya.
Lima belas menit. Aku menghabiskan jatah makan siangku. Abu Syik tidak banyak bicara, dia tetap konsentrasi dengan kemudi. Lengang. Hutan lebat terlihat di kiri kanan jalan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teh tubruk khas Slawi tegal

hilang mu takkan kucari lagi

Hilang mu takkan kucari lagi Pergi mu takkan kusesali Dan kembali mu takkan kuharapkan lagi Daripada berteduh ditempat yang salah  Lebih bai...