Satu jam menunggu. Abu Syik sempat membersihkan ceceran darah di jeep. Aku menatapnya, diam. Tidak berani bertanya. Semak belukar di dekatku dipenuhi kunang-kunang. Suara hewan liar terdengar dari kejauhan.
“Ikuti aku, Padma.” Abu Syik akhirnya bicara, melangkah menuju jalan setapak.
Aku mengangguk. Segera berjalan di belakangnya.
Setengah jam melintasi jalan yang tadi aku lewati, kami tiba di ladang ganja. Abu Syik melangkah santai, menuju perkampungan. Rumah-rumah panggung terlihat terang oleh lampu petromaks. Terlihat normal, tapi perkampungan itu senyap, hanya menyisakan derik serangga malam.
Kemana para penjaga ladang ganja yang tadi berjaga?
Aku menelan ludah.
Belasan penjaga itu terkapar di dekat anak tangga. Tewas, dengan mulut berbusa. Senjata mereka tergeletak begitu saja, disamping tubuh mereka yang kaku. Beberapa pintu rumah terbuka, tubuh pekerja terkapar di bawah bingkai pintu, juga ada yang tersangkut di tangga. Nyaris setiap tempat ada mayat, termasuk di dalam rumah yang tidak terlihat. Aku bisa membayangkan horor yang baru saja terjadi. Para pekerja itu, masih sempat menyalakan petromaks. Lantas mengobrol santai. Sebagian dari mereka menyiapkan makan malam, sebagian duduk menunggu. Kemudian mereka menikmati hidangan tersebut, juga minum dari air di ceret, teko, gentong.
Setengah jam berlalu, racun itu mulai bekerja, satu-persatu tubuh mereka kejang-kejang. Jantung mereka berhenti berdenyut. Satu-dua berseru panik, bertanya apa yang terjadi, berusaha mencari pertolongan. Tidak sempat melangkah jauh, mereka bertumbangan. Termasuk penjaga ladang yang ikut makan malam. Tidak ada yang lolos dari racun itu.
“Bagus sekali, Padma.” Abu Syik menatap sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sekitar kami.
Aku masih mematung. Wajahku pias menatap mayat yang bergeletakan.
“Ambil semua jerigen itu, Padma.” Abu Syik menyuruhku.
Aku menggigit bibir.
“Padma!” Abu Syik berseru lebih kencang.
Aku mengangguk, berlarian mengambil jirigen-jirigen di kolong rumah.
Abu Syik menerimanya, lantas mulai menumpahkan isi jirigen ke tepi-tepi ladang ganja. Itu minyak tanah, kerosin. Milik pekerja ladang untuk menyalakan lampu petromaks.
“Heh, bantu aku menumpahkan semua jirigen, Padma.” Abu Syik meneriakiku yang kembali mematung menatap mayat-mayat.
Aku mengangguk, membawa salah-satu jirigen.
“Aku tidak mau berlama-lama di ladang terkutuk ini, segera tuangkan semua isi jirigen.” Abu Syik menyuruhku, sambil menyiram tiang-tiang rumah panggung.
Setengah jam, puluhan jirigen itu kosong. Bau kerosin tercium pekat di udara. Abu Syik meraih dua petromaks yang menyala, lantas membantingnya di tiang salah-satu rumah. Seketika, api berkobar.
Abu Syik melangkah menuju jalan setapak.
“Padma!”
Aku menoleh, segera menyusul.
Tiba di sana, Abu Syik membanting petromaks kedua di tepi ladang ganja. Api kedua menyusul berkobar. Lantas dia melangkah santai kembali menuju mobil. Aku bergegas mengikutinya, bukan karena diteriaki, atau takut Abu Syik akan mengomel, tapi lihatlah, api mulai membakar ladang ganja. Kami harus segera pergi sebelum terjebak di dalamnya.
Pukul sembilan malam, saat mobil jeep tua itu kembali melaju, api berkobar-kobar menghabisi delapan rumah panggung dan dua puluh hektare ladang ganja. Juga puluhan mayat penjaga dan pekerja. Terbakar habis. Radius belasan kilometer asap dari kebakaran itu membuat hewan-hewan teler, mabuk ganja. Beruntung ladang itu sangat terpencil, tidak ada pemukiman penduduk di dekatnya. Tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi. Koran-koran tidak memberitakan kejadian ini. Tapi malam itu, salah-satu kebun ganja terbesar terbakar habis.
Aku menatap ke belakang mobil. Nyala api itu terlihat terang di kejauhan.
Wajahku masih pias. Di kepalaku masih terbayang mayat-mayat itu.
***
Kami tiba di talang persis matahari terbit.
Aku tidak bisa tidur sepanjang jalan.
Abu Syik tidak bicara sepatah kata pun. Konsentrasi memegang kemudi. Dia tidak terlihat lelah, atau mengantuk. Dia fokus.
Sesungguhnya, banyak sekali yang hendak kutanyakan. Kepalaku seperti hendak meledak. Bahkan aku ingin menangis. Rentetan kejadian barusan tidak mudah kupahami. Setangguh apapun Abu Syik melatihku, aku tetap remaja usia lima belas tahun, yang barusaja membunuh. Tapi bagaimana aku akan bertanya kepada kakekku? Itu hanya akan membuat dia marah. Di rumah kami, jika Abu Syik diam, maka aku hanya bisa diam. Peraturannya sederhana: Abu Syik hanya akan menjelaskan sesuatu, jika dia merasa itu perlu dijelaskan. Dia akan membicarakan sesuatu, jika itu penting dibicarakan. Sisanya, aku tutup mulut. Diam.
Kami akhirnya tiba di talang. Cahaya lampu mobil menyiram pagar.
“Aku akan mengembalikan mobil ini ke kota kecamatan, Padma. Kamu bisa istirahat, libur, hari ini tidak ada latihan.” Abu Syik memberi perintah.
Aku mengangguk, patah-patah turun dari mobil. Sejenak, mobil itu melaju kembali di jalanan tanah, meninggalkan gerbang pagar ladang kami.
Aku menatap mobil yang hilang di tikungan sana, menyisakan kepul debu. Cahaya matahari pagi terlihat menimpa pucuk-pucuk Bukit Barisan. Aku terisak pelan. Bahuku bergetar. Aku tidak kuat lagi menahannya sepanjang malam, aku menangis.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak lapar. Juga tidak mengantuk.
Aku menyeka pipiku. Baiklah, aku akan pergi ke tempat rahasiaku. Menumpahkan semua perasaanku di sana.
***
Kawanan monyet itu pergi sukarela saat aku tiba.
Aku merayap menaiki pohon tumbang, duduk di sana. Menatap lembah yang permai. Pemandangan pagi yang menakjubkan. Langit biru. Asap terlihat mengepul dari atap sirap beberapa rumah panggung, penghuninya sedang masak. Ladang padi tadah hujan. Hutan-hutan lebat di seberang sana. Serombongan burung dengan bulu putih terbang melintas. Terlihat anggun.
Aku kembali terisak. Menangis. Menatap tanganku. Tangan yang menumpahkan racun itu. Aku pembunuh…. Tapi mereka adalah penjaga dan pekerja ladang ganja, mereka jahat. Mereka pantas mati. Itulah yang diajarkan oleh Abu Syik. Meski kakekku tidak pernah menjelaskannya, inilah guna latihan bertahun-tahun, agar aku bisa menyelesaikan misi. Aku telah diaktifkan. Aku adalah petarung terakhir di keluarga kami. Dididik langsung di tanah tempat para bandit dibesarkan, agar aku bisa sebuas para bandit. Agar aku tahu cara menghadapi para bandit.
Berhenti menangis. Sergah separuh hatiku. Puluhan penjaga dan pekerja ladang ganja itu pantas mati. Mereka menanam tumbuhan yang membunuh banyak orang. Membuat Ibu menangis kehilangan anaknya yang jadi pengguna narkoba. Anak menangis menyaksikan Ayahnya yang mati overdosis. Kita adalah pahlawannya, Padma.
Aku menggeleng kencang-kencang, masih terisak. Aku bukan pahlawan, aku penjahat. Aku pembunuh.
Tidak, Padma. Kita adalah padma, kita adalah ratu bunga yang menyerap bau busuk di sekitar. Kita mengorbankan hidup kita agar hutan menjadi indah.
Aku menyeka hidung, aku tidak mau jadi padma. Aku hanya anak remaja usia lima belas tahun. Aku hanya ingin menjadi anak-anak biasa.
“Padma.”
Seseorang memanggilku, membuatku terkejut. Aku menoleh.
Agam telah berdiri di sampingku, menatapku heran. Entah sudah berapa detik dia di sana.
Aku buru-buru mengelap pipi. Buru-buru memasang wajah biasa saja.
“Kamu menangis, Padma?” Agam bertanya.
Aku menunduk. Tentu saja Agam telah melihatku menangis. Ternyata, pagi ini dia juga ke tempat rahasia ini. Diam-diam mendekat, menemukanku sedang menangis.
Agam menghela napas pelan. Duduk, menjuntaikan kaki. Terpisah satu meter.
“Apakah kamu sering menangis di tempat ini, Padma?” Agam bertanya.
Aku mengangguk pelan.
“Apakah karena Abu Syik memukulimu? Meneriakimu anak yang tidak berguna, mengecewakan, sia-sia dilahirkan?” Agam menebak.
Aku mengangguk.
“Aku juga begitu. Kita senasib.” Agam menghela napas. Dia tidak sedang menertawakanku, atau hendak mengolok-olokku yang ketahuan menangis. Dia tahu situasiku.
Lengang sejenak. Hanya suara kicau burung menyambut pagi.
“Tapi pagi ini aku tidak menangis karena Abu Syik memukulku.” Aku bicara pelan.
Agam menoleh.
“Tidak? Lantas kenapa kamu menangis, Padma?”
“Aku… Aku menangis karena Abu Syik menyuruhku membunuh.”
Agam termangu. Dia jelas tidak akan mengira kalimat itu keluar dari mulutku.
“Kamu membunuh hewan?”
Aku menggeleng. Bukan.
“Kamu membunuh manusia?”
Aku mengangguk.
Astaga? Agam menatapku tidak percaya. Apa yang terjadi?
Baiklah. Aku juga tidak pernah punya teman selama ini. Tidak punya tempat untuk cerita. Agam, anak laki-laki yang sering aku teriaki monyet ini adalah satu-satunya tempatku mengobrol. Aku akan menceritakannya. Semoga itu membantu meringankan beban di hatiku.
Lima belas menit, aku menceritakan kejadian 24 jam terakhir. Anak laki-laki itu tidak memotong sekalipun. Menyimak.
“Aku…. Aku membunuh puluhan orang di ladang ganja itu, Agam. Tanganku yang menumpahkan racun itu. Dan…. dan Abu Syik membakar semuanya. Seluruh ladang ganja. Rumah-rumah. Juga penjaga dan pekerjanya.” Aku menutup cerita, sambil sekaligus menutup wajah dengan dua telapak tangan.
Agam menghela napas. Menunduk. Menatap jurang di bawah kaki kami. Dia sejenak kehilangan komentar apapun. Hanya suara derik serangga dan kicau burung.
“Aku kira, Bapakku sudah rumit, Padma…. Bapakku marah-marah, memukul, sulit dipahami. Ternyata, kakekmu lebih rumit lagi.” Agam akhirnya bicara.
“Kakekmu jelas bukan penduduk talang biasa. Dia pasti punya rahasia. Seperti talang ini dengan segala ceritanya…. Kamu sepertinya memang disiapkan untuk sesuatu, Padma.”
Aku mengangguk. Tapi aku tidak tahu persisnya apa.
“Atau jangan-jangan, kamu disiapkan untuk menjadi Ratu. Eh, Ratu Bunga Bangkai.” Agam menyeringai—dia bergurau, mencoba menghiburku.
“Tidak lucu.” Aku menyergah.
“Maaf.” Anak laki-laki itu menggaruk rambutnya yang berantakan.
Lengang sejenak.
“Jika aku yang melakukannya, aku tidak akan pusing memikirkan penjaga dan pekerja ladang ganja itu, Padma. Mereka pantas mati. Mereka jahat.” Agam bicara lagi, “Aku bahkan iri denganmu, latihan-latihan itu sepertinya hebat…. Sementara aku hanya disuruh bekerja di ladang. Entahlah, apakah Bapakku bisa mengajariku bertarung. Dia hanya banyak mengomel dengan kaki pincang…. Apakah Abu Syik masih mau menerima murid lain?”
Aku melotot.
Anak laki-laki itu menatapku. Aku balas menatapnya.
Lengang lagi sejenak.
“Terima kasih sudah mau mendengar ceritaku, Agam.”
Anak laki-laki itu mengangguk.
“Kamu yang pertama dan satu-satunya tempatku bercerita selama ini.”
Agam mengangguk lagi.
“Jika kamu tidak keberatan, apakah kamu mau menjadi temanku, Agam?” Wajahku sedikit memerah mengatakan kalimat itu, menatap anak laki-laki di dekatku itu.
Kami saling tatap sejenak. Wajah Agam ikut memerah.
Uu aa uu aa. Uu aa uu aa. Monyet-monyet di atas sana berisik, bertepuk-tangan, sebelum Agam menjawab kalimatku. Dasar monyet, sepertinya mereka sedang mengolok-olok kami.
***
tinggal 1-2 hari lagi. cerbung ini selesai diposting. buku lengkapnya terbit awal 2023, insya Allah. ditunggu sj yg sabar. kami kemungkinan besar mendahulukan Matahari Minor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar