Kamis, 15 September 2022

Tere Liye: tanah para bandit episode 8 part 2

Dua jam menuruni lereng, menuju sisi kiri lembah, aku tiba di talang satunya.
Matahari semakin tinggi. Pukul sepuluh. Aku menatap kerumunan para pemburu. Laki-laki, tinggi besar. Mereka mengenakan pakaian bagus-bagus—meski kotor bekas berburu semalam. Sepatu boot keren, yang juga kotor. Membawa senapan angin. Satu-dua anjing mereka menyalak, berusaha ditenangkan. Beberapa ekor babi hutan menumpuk di mobil dengan bak terbuka. Pemburu ini membawa pulang buruannya. Sepertinya mereka tidak keberatan memakan daging babi.
Mobil-mobil ini juga bagus. Rodanya diberikan rantai, agar tangguh melintasi jalanan tanah yang berubah menjadi kubangan saat musim penghujan. Aku menatap tumpukan babi—ada babi yang besar sekali di sana. Menelan ludah. Bukankah itu raja babi itu? Astaga, rombongan ini berhasil membunuhnya. Tubuh babi besar itu seperti trophy berburu.
Aku melangkah mendekati rumah Agam, sambil terus memperhatikan para pemburu.
Ditilik dari pakaian mereka, juga mobil-mobil bagus mereka, para pemburu ini datang dari kota besar, mungkin kota provinsi. Bukan pemburu biasa. Mereka terlihat terlatih, dengan postur tubuh gagah. Kenapa mereka berkumpul di halaman rumah Agam? Meskipun beberapa mobil parkir di padang rumput, agak jauh, beberapa kerumunan juga duduk, mengobrol di luar ladang milik keluarga Agam, pusat berkumpul rombongan ini di rumah Agam.
Baiklah, aku akan bertanya ke monyet itu. Membuatnya terkejut. Aku hendak melangkah, nekad mendekati rumah itu.
Terhenti. Dari atas sana, justeru Agam terlihat turun. Bersama seseorang, dengan mata sipit, yang menepuk-nepuk bahu Agam. Bapaknya berjalan di belakangnya—aku mengenali itu Bapaknya karena dia satu-satunya yang berjalan pincang. Sesekali Bapaknya bicara, disambut tawa terkekeh dari orang bermata sipit itu. Apa yang terjadi? Aku menelan ludah. Menyusul satu orang lagi di belakang, sambil menangis. Itu pasti Mamak Agam. 
Sisa kejadian berlangsung cepat sekali. 
Agam, orang bermata sipit dan Bapaknya menuruni anak tangga, tiba di halaman rumah. Mamak Agam terduduk di atas sana, masih menangis. Salah-satu pemburu membukakan pintu mobil jeep yang parkir di dekat anak tangga. Orang bermata sipit itu menyuruh Agam naik di kursi belakang. Lantas dia ikut naik, duduk di sebelah Agam. Persis orang itu naik, pintu mobil jeep ditutup, puluhan pemburu lain berlarian menaiki mobil jeep mereka.
“Bergegas!”
“Kembali ke kota!”
Seru mereka. Bergerak taktis.
“Minggir, Dik!” Salah-satu menyuruhku menyingkir.
Aku reflek mundur satu langkah. Aku memang berdiri di jalan setapak, menghalangi pergerakan. 
Mobil jeep yang dinaiki Agam melaju lebih dulu, melintasi gerbang ladang, melintasi jalan setapak. Aku termangu. Mobil itu persis melewatiku. Apa yang harus kulakukan? Berseru memanggil Agam? Apakah dia akan mendengarku? Jendela kaca mobil jeep ini tertutup rapat, tidak seperti mobil tua yang dibawa Abu Syik yang terbuka tanpa atap dan dinding.
Agam sepertinya tidak melihatku yang berdiri di tepi jalan. 
Belasan mobil lain juga melesat menyusul.
TEET! Salah-satu dari mobil itu menekan klakson, menyuruhku menyingkir. Aku menoleh, kembali lompat menjauh, mobil itu tadi parkir di belakang tempatku berdiri. Aku menghalangi lajunya. Melihatku minggir, mobil itu melanjutkan melesat cepat.
PYAR! Kubangan lumpur menciprati pakaianku.
Aku hendak berseru marah, tapi itu tidak penting diurus sekarang. Apa yang sedang terjadi? Siapa rombongan ini? Kemana Agam pergi? Apakah Agam hendak mengunjungi kerabat atau kenalan keluarga mereka? Bukankah dia bilang Bapak dan Mamaknya tidak punya kerabat? Jika melihat orang bermata sipit tadi bicara dengan Bapaknya, mereka sangat akrab. Juga saat menepuk-nepuk bahu Agam, seperti sedang menepuk anak sendiri. 
Astaga! Bagaimana jika Agam pergi untuk tidak pernah kembali. Aku menelan ludah. Jantungku berdetak lebih kencang. Nafasku menderu. Bukan karena situasi menegangkan. Ini sesuatu yang tidak pernah aku kenali sebelumnya. Rasa takut kehilangan. Rasa…. Yang aku tidak paham.
Aku berlarian hendak mengejar rombongan mobil jeep itu. Tapi bagaimana mungkin? Cepat sekali mobil-mobil itu melintasi jalanan becek. Mereka telah tiba di ujung talang. Secepat apapun aku berlari mengejarnya, tidak mungkin tersusul.
Aku meremas jemari. Kemana Agam pergi? Bagaimana jika dia tidak pernah kembali? Aku belum sempat berpamitan dengan Agam. Bagaimana dengan tempat rahasia kami? Aku…. Aku…. 
Sementara itu, di atas rumahnya, Mamak terus menangis.
Aku berpegangan ke pagar rumah yang rusak, hampir terduduk. Agam pergi? Jantungku seperti mencelos begitu saja. Tanganku gemetar…. Bagaimana dengan janji kami? Agam pergi…. 
Besok lusa, bagaimana pun orang lain memanggilnya, dia tetap adalah monyetku.
***
sampai bertemu novelnya terbit, insya Allah. kami bisa konfirmasi, zaman zulkarnaen secara resmi muncul pertama kali di buku ini, bergabung dgn serial aksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teh tubruk khas Slawi tegal

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu.

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Lebih bahagia malah, lebih banyak waktu buat diri sendiri. Kar...