Sabtu, 10 September 2022

Tere Liye tanah para bandit episode 6 part 2

Sumber : Facebook Tere Liye

Tanah para Bandit.




Episode 6 part 2:

“Jika kamu mengantuk, kamu bisa tidur. Nanti aku bangunkan jika tiba.” Abu Syik bicara lagi.
Aku menggeleng. Aku tidak mengantuk. Aku ingin bertanya, kemana tujuan kami? Siapa pemilik mobil jeep ini? Sejak kapan Abu Syik bisa menyetir? Buat apa botol racun tadi? Tapi melihat ekspresi wajah Abu Syik yang tidak mau ditanya-tanya, aku memilih diam. Meneruskan menatap pemandangan.
Empat jam, pukul tiga siang, kami telah jauh dari kota kecamatan, apalagi dari talang, tertinggal di belakang sana. Ini rekor perjalanan terjauhku. Abu Syik memutar kemudi, mobil jeep yang aku tumpangi mendadak berbelok keluar dari jalan aspal, masuk ke jalan berlapiskan batu kerikil. Mobil terbanting pelan. Kiri-kanan semak, sesekali menghantam spion dan dinding mobil. Tapi Abu Syik tidak mengurangi kecepatan. Mobil tua ini tetap melintas cepat. 
Aku menoleh ke belakang, jalan aspal tertinggal di sana.
Satu jam, kondisi jalan semakin buruk. Tanah cokelat. Sesekali mesin mobil menggerung kencang melewati semak yang tumbuh di tengah jalan. Atau melewati tanjakan curam. Matahari mulai turun di kaki langit. Ini sudah pukul empat sore. Jadwalku membereskan rumah panggung, menyapu, mengangkat jemuran. Menyiapkan makan malam. Tapi kami entah ada di mana sekarang.
Satu jam, kondisi jalan benar-benar buruk. Hanya karena mobil itu double gardan, memiliki dua poros roda penggerak, kami terus bisa melaju, menaklukkan lubang, semak belukar, tanjakan, dan sebagainya. Beruntung beberapa hari terakhir tidak turun hujan, jalanan akan dipenuhi licak lumpur jika hujan. Aku semakin sering terbanting di atas kursi. Kiri-kanan, depan-belakang, sesekali kepalaku terantuk. 
Pukul lima sore, laju mobil jeep tua mulai melambat. Beberapa detik kemudian, Abu Syik menginjak rem, mobil berhenti, kami telah tiba di tujuan. Persis di tengah hutan lebat. 
“Turun, Padma.”
Aku mengangguk, menyusul Abu Syik yang lebih dulu lompat. Kami berdua berdiri di depan mobil. Abu Syik mengeluarkan botol racun dari buntalan kain, menyerahkannya padaku.
“Kamu telah diaktifkan, Padma.” Abu Syik bicara serius, menatapku, “Organisasi telah memberikan misi pertama kepadamu. Mereka memberikan perintah itu saat aku ke kota kabupaten beberapa hari lalu. Mereka menyiapkan mobil jeep tua ini, memberikan informasi lokasi target.”
Aku menelan ludah. Diaktifkan? Organisasi?
Abu Syik jelas akan marah jika aku bertanya. Wajahnya sangat serius—belum pernah aku melihatnya seserius ini. Dia menunjuk jalan setapak di samping mobil jeep, “Ikuti jalan ini, Padma. Setengah jam, kamu akan tiba di sebuah tempat. Kamu akan tahu persis setelah melihatnya sendiri. Tempat itu harus dihabisi. Bunuh semua orang di sana. Gunakan racun di dalam botol, tuangkan di air minum mereka. Lakukan diam-diam. Lantas pergi. Saat mereka makan malam beberapa jam lagi, mereka akan bertumbangan mati. Misi selesai.”
Tanganku gemetar. Apa maksud Abu Syik?
“Kamu anak yang cerdas, Padma. Kamu akan tahu setelah tiba di sana. Usiamu lima belas, lebih dari cukup untuk memulai misi pertama. Aku telah melatihmu bertahun-tahun.”
“Tapi,” Aku tidak tahan hendak bertanya, “Tapi bagaimana jika aku ketahuan?”
“Pastikan kamu tidak ketahuan, Padma.” Abu Syik menatapku tajam, “Dan jika kamu ketahuan, gunakan kecerdasan di kepalamu. Berangkat sekarang.”
Aku menahan napas. Tanganku masih gemetar.
“Waktu kita tidak banyak, Padma! Kamu harus tiba di sana sebelum mereka berkumpul makan malam.” Abu Syik menatapku galak.
Aku mengangguk. Memegang erat-erat botol racun. 
Menghembuskan napas perlahan. Mulai melangkah memasuki jalan setapak.
*** 
Itu tidak susah, hanya berjalan di jalan setapak, meski semak-belukar tumbuh di sisi jalan, juga sesekali onak dan duri mengenai tubuhku, itu tetap mudah. 
Tapi itu setengah jam yang terasa panjang. Apa yang akan aku lihat di ujung jalan ini? Siapa yang harus mati dengan racun di dalam botol? Apa maksud Abu Syik? Aku telah diaktifkan? Organisasi apa? Dengan kecamuk ribuan pertanyaan, aku akhirnya tiba di ujung jalan setapak.
Termangu.
Lihatlah, bukan hutan lebat di depanku. Juga bukan perkampungan, apalagi kota. Melainkan, nyaris dua puluh hektar, terhampar ujung ke ujung di tengah hutan, sebuah ladang ganja. Aku tahu tumbuhan ini, aku pernah melihat gambarnya di salah-satu bukuku. Tumbuhan ini menghijau, siap dipanen beberapa minggu lagi. Astaga! Ladang ganja?
Aku membujuk kakiku agar tetap berdiri kokoh. 
Dari posisiku berdiri, aku bisa melihat bagian tengah ladang ganja, terlihat enam-delapan atap sirap rumah panggung. Tempat tinggal pekerja ladang. Aku menelan ludah untuk ke sekian kalinya. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Abu Syik menyuruhku menuangkan racun di dalam botol ke ceret, teko, gentong, apapaun itu tempat minum di rumah-rumah tersebut. Itulah misi ini. Abu Syik hendak membunuh semua pekerja di ladang ini. 
“Hei, kamu tahu dapat kabar terbaru.”
Aku nyaris berteriak, lompat. Tapi segera mengendalikan diri. Menutup mulutku. Aku mendengar percakapan tidak jauh dari tempatku berdiri.
“Iya. Mereka akan menambah upah setelah panen dua minggu lagi, bukan?”
“Benar, Kawan. Aku bisa kawin lagi.” Tertawa.
Apa yang harus kulakukan? Dua orang penjaga ladang ganja terlihat mendekat di jalan setapak. Mereka belum melihatku, karena aku tadi memang berdiri agak keluar dari jalan setapak untuk melihat posisi rumah panggung. Dua orang itu membawa senjata laras panjang, mengenakan pakaian loreng-loreng. Aku reflek segera lompat masuk ke dalam kebun ganja, tengkurap di sana. 
“Bagaimana dengan para peneliti dari kampus itu? Mereka masih meneliti di dekat sini?”
“Bos sudah mengurusnya, terakhir aku memeriksa tenda-tenda telah dilipat, mereka telah pergi. Kecuali masih ada yang nekad berkeliaran lagi di hutan ini, mencari penyakit.”
Dua orang itu berhenti sejenak di ujung jalan setapak, beberapa meter dari posisiku tengkurap, mereka mengeluarkan rokok. Santai. Masih melanjutkan obrolan. Aku berusaha mengendalikan deru napas, berusaha lebih tenang. Satu menit, dua menit, aku mulai merayap di dasar ladang ganja, bergerak maju. Lima menit, setelah memastikan aman, aku berdiri, berlarian diantara batang ganja. Ini tidak sulit, aku terlatih bergerak tanpa suara.
Lima menit, tiba di perkampungan itu, ada dua-tiga penjaga lainnya, sedang mengobrol di depan rumah panggung.
Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa melenggang di depan mereka. Menggigit bibir, aku bisa memutari ladang ganja, muncul di belakang rumah-rumah. Itu sepertinya strategi yang lebih baik. Aku segera melangkah. Setakut apapun, segentar apapun, aku harus menyelesaikan perintah Abu Syik. Waktuku semakin sempit. 
Lima menit memutari perkampungan itu, aku keluar dari balik tanaman ganja, mengendap-endap, mendekati belakang rumah. Ada tangga di sana. Segera menaiki rumah pertama, tiba di atas, mengintip celah pintu, tidak ada orang di dalamnya, mendorong pintu yang tidak dikunci. Aku tiba di dapur, mataku dengan cepat mencari ceret air. Dapat. Dengan kaki gemetar mendekatinya. Membuka tutupnya, perlahan menuangkan racun dari botol. Beberapa tetes. Aku hendak kembali ke pintu, sudut mataku melihat wadah air lainnya. Menghembuskan napas, kembali balik kanan. Menuangkan beberapa tetes racun.
Itu tidak semudah yang diceritakan, itu sangat menegangkan. Entah berapa kali aku harus berhenti sejenak, membujuk kakiku agar terus berjalan, membujuk tanganku agar tetap stabil saat menuangkan racun. Belum lagi saat harus berpindah dari satu rumah ke rumah lain, menaiki anak tangga berikutnya, itu lebih menegangkan lagi. Kapanpun para penjaga di depan bisa menoleh, melihatku sedang mengendap-endap. Hanya karena aku terlatih bergerak dalam lengang, sejauh ini tidak ada masalah. Penjaga ladang ganja masih asyik mengobrol di sana. Sesekali terkekeh. 
Rumah panggung ke delapan, aku harus bergerak semakin cepat, tadi saat di rumah ke tujuh, dari jendelanya aku melihat serombongan pekerja ladang berjalan di jalan setapak dari sisi belakang. Sepertinya mereka membuka ladang baru di sisi sana. Malam hampir tiba, mereka kembali ke rumah-rumah panggung untuk beristirahat. 
Tanganku gemetar menumpahkan botol, sempat membuat basah meja, segera mengelapnya, agar tidak ada yang curiga.Dua ceret, satu gentong di rumah terakhir, akhirnya botolku kosong. Beringsut kembali menuju pintu belakang, hampir terjatuh saat menuruni anak tangga. Lantas berlarian lagi masuk ke balik tanaman ganja, persis sepersekian detik saat rombongan pekerja ladang muncul. Mengobrol. Tertawa. 
Aku menghembuskan napas. Mereka tidak melihatku. Posisiku aman. Sekali lagi menghembuskan napas lega. Mulai berlarian di antara pohon ganja, memutar. Langit terlihat merah, matahari siap beristirahat di garis horizon barat. 
Lima menit, aku telah kembali ke jalan setapak di tengah ladang ganja. Tapi aku benar-benar luput, perasaan lega telah berhasil menumpahkan semua isi botol membuatku tidak awas. Persis aku tiba di ujung ladang ganja, persis beberapa langkah lagi tiba di jalan setapak semak belukar, dua penjaga itu justeru keluar dari balik semak belukar tersebut. Mereka beberapa detik lalu memang masuk ke sana, buang air kecil. Aku tidak melihatnya, merasa aman, aku terus berlarian. Tidak tahu jika sedetik kemudian, mereka keluar dari sana. Membuat langkah kakiku terhenti seketika.
Dua penjaga ladang ganja itu telah melihatku. 
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teh tubruk khas Slawi tegal

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu.

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Lebih bahagia malah, lebih banyak waktu buat diri sendiri. Kar...