Rabu, 14 September 2022

Tanah para bandit episode 8 by:tereliye

Episode 8 Perpisahan Tanpa Pamit
 

Itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Agam. Karena beberapa bulan kemudian, dia akhirnya pergi dari talang. 
Dan sebenarnya, aku tidak seratus persen jujur padanya. Aku menyimpan sendiri bagian paling menyesakkan di ladang ganja itu. Bukan semata-mata membunuh yang membuatku menangis—aku tahu hanya soal waktu aku akan membunuh. Melainkan, di antara mayat-mayat bergelimpangan itu, terdapat beberapa mayat anak-anak usia sepuluh-dua belas tahun. Mereka ikut bekerja di ladang ganja itu. Mereka ikut mati. 
Itulah yang membuatku pias, mematung berkali-kali di sana saat Abu Syik meneriakiku. Menatap mayat anak-anak di kolong rumah panggung itu. Dua diantaranya terkapar saling berpegangan. Itu juga yang membuatku menangis di atas pohon tumbang. Bayangan mayat-mayat itu melintas di benakku.
Minggu-minggu berikutnya berjalan berat. Aku terus berusaha fokus latihan. Abu Syik terus mengomel, memarahiku. Tapi waktu, selalu menjadi obat pamungkas. Aku memang ditempa, disiapkan untuk memiliki mental baja. Setiap kali terjatuh, aku segera berdiri lagi. Termasuk saat terpukul oleh kejadian itu, aku berusaha bangkit. Satu bulan berlalu, aku mulai melupakan kejadian itu. Kembali konsentrasi berlatih. 
Aku berhasil menaklukkan target waktu 30 menit. Saat aku menumpahkan dua ember terakhir, membuat gentong melimpah, luber, bayangan tongkat belum genap di ujungnya, aku berteriak kencang. Mengepalkan tinju berkali-kali. Badanku basah kuyup, oleh keringat dan oleh air sungai. Abu Syik menatapku datar, “Bagus, Padma.”
Hanya itu komentarnya, dan dia menaiki anak tangga, “Sarapan, Padma.”
Aku mengangguk. Menyusulnya. Tapi itu menjadi awal target baru yang lebih sulit. Abu Syik menggeser tongkat, bayangan itu akan menyentuh ujungnya hanya dalam waktu 25 menit. Kalian tahu rekor lari 10 km dunia? Bahkan aku harus lari lebih cepat dengan membawa dua ember itu, bolak-balik sepuluh kali melewati jalan setapak yang tidak rata, latihanku jauh lebih sulit dibanding rekor itu. Belum lagi, Abu Syik kembali berteriak-teriak marah, mengomel panjang lebar, melupakan jika baru beberapa hari lalu aku berhasil lompat ke level berikutnya.
Aku juga berhasil lompat ke atas tumpukan papan dengan dua batu seberat 20 kilogram di kaki. Itu sangat menyakitkan. Pergelangan kakiku lecet, berdarah, entah berapa kali aku mencobanya, tidak terhitung. Setiap kali tersungkur, aku bangun. Mencoba sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi. Saat aku berhasil lompat, berdiri dengan kaki gemetar, Abu Syik mengangguk tipis, “Istirahat, Padma. Kita lanjutkan latihan esok pagi.” Aku mengangguk. Menatap kepul debu di sekitarku. Aku tahu, batu yang lebih berat telah menungguku.
Tapi tidak semua latihan itu menyebalkan. Aku menyukai latihan baru tentang senjata. Bukan membuat racun, melainkan memainkan ‘pisau besar’. Itu lebih seru dibanding jurus-jurus bela diri. Dan kabar baiknya, ku berbakat. Awalnya menggunakan kayu sebagai pengganti pisau, tak, tok, tak tok, Abu Syik melatihku, dasar-dasar pertarungan. Saat gerakanku semakin mantap, dia memberikan parang betulan. Itu latihan yang berbahaya. Keliru menebas, kami bisa terluka. Trang! Trang! Aku berseru. Trang! Trang! Aku terus mengejar Abu Syik yang berkelit, dia lihai sekali memainkan pisau besar itu. Trang! Trang! Kakekku tidak banyak mengomel di latihan ini—dia hanya mengangguk, setiap kali aku berhasil lompat ke level berikutnya.
Dan favoritku adalah pisau kecil. Seukuran telapak tangan. Dengan gagang dari kayu berukir, dan ujung tajam mematikan. Zap! Zap! Dilemparkan dari jarak jauh. Dua pisau mendarat di tiang rumah panggung. Zap! Zap! Dua pisau menembus batang pisang. Zap! Zap! Dua pisau mengenai tongkat kayu. Semakin lama, sasaranku semakin kecil dan semakin jauh. Juga semakin rumit, aku harus melempar sambil berlarian. Atau sasaranku yang bergerak, aku harus membidiknya. Lagi-lagi, di latihan ini, Abu Syik tidak banyak mengomel. Dia hanya berkacak pinggang, “Kita lanjutkan besok malam, Padma!” Setiap kali aku berhasil menyelesaikan targetku.
Empat bulan sejak kejadian di ladang ganja. Pagi itu.
Abu Syik mengenakan pakaian rapi, memakai topi anyaman lebar, menuruni anak tangga.
“Abu Syik mau kemana?” Aku yang sedang bersiap-siap latihan reflek bertanya—sudah lama kakekku tidak bepergian, empat bulan. Aku penasaran.
Abu Syik tidak menjawab, dia hanya bicara pendek, “Tetap latihan, Padma.” Seolah hendak bilang, kemana aku pergi, bukan urusanmu.
Aku mengangguk. Menatap punggung Abu Syik. 
Persis tubuhnya hilang di pagar ladang, aku mengepalkan tinju. Segera melemparkan ember. Lupakan latihan lari. Ini kesempatan emas. Empat bulan terakhir, karena Abu Syik selalu ada di rumah dan latihanku berjalan lancar—dia tidak pernah menghukumku berada di luar, membuatku tidak bisa mengunjungi tempat rahasia itu. Empat bulan lamanya aku tidak ke sana.
Aku berlari antusias meninggalkan ladang. 
Tiba dengan cepat di tepi hutan, mulai mendaki lereng Bukit Barisan. Tubuhku lincah meniti jalan setapak. Melompati genangan air—semalam hujan deras. Udara terasa segar, suara serangga dan kicau burung bersahutan menyambut pagi. Aku mempercepat lariku, melompati pohon melintang di jalan setapak. Melewati pakis-pakis, hamparan jamur dan semak di dasar hutan.
Sedikit mengurangi kecepatan, ada banyak pohon kecil yang patah di depan, aku menatapnya. Sepertinya tadi malam ada rombongan yang melewati jalur ini. Jejak kaki manusia terlihat di permukaan tanah, juga jejak kaki hewan. Aku bergumam, aku sepertinya tahu apa yang terjadi. Ada rombongan berburu babi, membawa anjing mereka. Itu jamak di hutan Bukit Barisan, penduduk suka berburu babi. Selain karena hewan-hewan itu merusak ladang, berburu juga adalah hiburan tersendiri. Tapi melihat bekas jejaknya, rombongan kali ini besar, puluhan orang dengan belasan anjing, sepertinya dari kota kabupaten, atau lebih jauh lagi.
Aku melanjutkan berlarian, kakiku melompati bekas-bekas berburu. Cahaya matahari menerobos kanopi hutan, lembut menyiram wajahku. Dua jam, aku tiba di tempat rahasia itu. 
Uu aa uu aa. Monyet berseru-seru, sedang berpesta di pohon manggis.
Aku memukulkan batang kayu. Membuat kawanan itu menoleh, terdiam.
“Pergi!” Aku berseru.
Uu aa uu aa. Monyet itu terlihat kesal, tapi mereka segera pergi.
Aku memunguti beberapa buah manggis. Memilih yang besar-besar dan ranum, lantas lompat ke pohon tumbang. Duduk di sana. Batang kayu itu basah, sisa hujan semalam, membuat pakaiaku basah, aku mengangkat bahu, tidak masalah, nanti kering sendiri. Menatap hamparan lembah di bawah sana. Talang kami. Rumah-rumah dengan atap sirap. Satu-dua mengepulkan asap dari dapur. Dua-tiga gumpal awan putih di langit. Serombongan burung putih terbang. 
Aku mulai membuka buah manggis. 
Pindah menatap talang satunya lagi. Kemana monyet itu, eh anak laki-laki itu? Apa kabarnya sekarang? Apakah dia masih sering ke sini empat bulan terakhir. Menangis setelah dipukuli Bapaknya? Sudah lama kami tidak bertemu. Apakah dia juga bertanya-tanya, kapan kami bertemu lagi? Atau dia duduk di sini, menungguku datang? Dia rindu padaku? Wajahku sedikit memerah membayangkan itu. 
Hei? Dahiku terlipat. Apa yang sedang terjadi di talang satunya? Mataku memicing. Dari ketinggian lereng Buki Barisan, aku bisa melihat keramaian di bawah sana. Mobil-mobil parkir sembarangan di padang rumput. Puluhan orang berdiri di depan rumah—aku berseru, itu rumah keluarga Agam, bukan? Mataku semakin memicing, tidak salah lagi. Rumah dekat pohon besar. 
Apakah itu rombongan yang berburu babi tadi malam? Kenapa mereka berkumpul di rumah Agam? Baiklah, rasa penasaran membuatku segera lompat turun dari pohon tumbang. Melemparkan sisa manggis ke tanah. Sejujurnya, aku tadi berharap bertemu Agam di sini. Tepatnya, empat bulan terakhir, aku selalu berharap bisa bertemu lagi dengannya…. Daripada aku menebak-nebak kapan dia datang ke sini, lebih baik aku mengunjunginya di talangnya. Memberikan kejutan. Sekalian melihat rombongan berburu babi itu.
“Hei monyet!” Aku berseru, mendongak, “Jangan habiskan buah manggis itu. Awas saja jika aku kembali lagi sudah tidak tersisa buahnya.”
Uu aa uu aa. Monyet-monyet itu balas berseru.
Aku menyeringai, telah berlarian meninggalkan lapangan kecil itu.
***
besok malam, insya Allah part terakhir diposting. buat yg nunggu buku lengkapnya, tunggu tahun 2023, insya Allah. kalian boleh jadi kaget pas baca bukunya, ada banyak karakter yg kalian kenal muncul. Karakter dr novel2 lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teh tubruk khas Slawi tegal

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu.

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Lebih bahagia malah, lebih banyak waktu buat diri sendiri. Kar...