Sabtu, 15 April 2023

kisah janda memiliki tiga anak

Sumber : Facebook.
Grup : Komunitas Bisa Menulis
Akun : Rodhiah Sulaim 

Ibu, Dimana Makam Ayah? 

Hampir sembilan bulan sudah aku dan anak anakku hidup di kampung halaman. Kami meninggalkan sejuta kenangan baik pahit dan manis di salah satu kota perantauan. Aku membawa mereka di kehidupan yang baru dimana kampung halamanku ini belum pernah mereka datangi sejak mereka lahir. Ada alasan yang begitu pahit yang akhirnya membuat aku berpikir tinggal dikampung akan menjadi jauh lebih baik. Bertahun sejak aku dan dan anak anak ditinggalkan ayahnya, bertahun pula aku mengahadapi kerasnya hidup dikota seorang diri. Semua pekerjaan sudak aku lakukan, semua agar anak anak bisa makan, bayar kontrakan dan biaya biaya lainnya. Kufikir dan berharap hidup dikampung akan membawa banyak perubahan dalam hidup. Melepaskan semua kenangan 7 tahun di perantauan, dihianati, diterlantarkan apapun itu aku ingin memulai kehidupan baru. 

Hidup diperkampungan juga ternyata tidak semudah yang aku fikirkan.Dimana aku merasa orang orang justru lebih terang - terangan mengolok olok apapun itu yang mereka anggap sebuah lelucon. Beberapa orang masih berpikir bahwa menjadi seorang ibu tunggal karna perpisahan adalah sebuah aib. Intinya apapun itu jangan sampai bercerai. Menjadi janda cerai adalah aib. 

Hari hari kujalani hidup dengan mengandalkan sebuah tanah bekas padi yang sudah tumbuh menjadi rawa lebat. Bapakku memberikan ini utk dikerjakan. Untuk cari makan. Aku juga tinggal terpisah,rumah bapak dihuni olehnya dan ibu tiriku beserta adik laki lakinya. Sementara aku hidup disebuah gubuk kecil bekas gilingan padi milik keluarga dari alm mamakku. Yang saat itu tidak ada listrik tidak ada air tidak ada kamar mandi. Bolehkah aku protes? Tentu saja tidak. Ini adalah bagian takdir, itu kata orang. 

Beberapa bulan disini ayahku meninggal karna memang sudah sakit sakitan sejak lama. Alih alih memberiku penghiburan kala berduka, orang orang justru berbicara aku adalah sebuah kegagalan. Aku adalah aib. Sedikit banyak ayahku pasti meninggal karnaku, karna masalah hidupku, karna kegagalanku. Bolehlah aku protes?  Aku memilih diam. 

Hari Hari kujalani seperti biasa. Berladang setiap hari. Pandangan sinis orang orang seolah berbisik aku ini senang dapat warisan sawah. Nyatanya tanah yg diberikan sangat jauh dari rumah butuh satu jam aku berjalan dalam setapak jalan hutan. Rawa yang sedemikian lebat ku bersihkan hanya dengan cangkul, hanya aku seorang diri sampai bahuku membengkak telapak tangan lecet bukan main. Tidak pernah aku tau apa alasan aku dibagi tanah yang nyaris tidak ada akses lagi karna sekian tahun tidak pernah dijamah.Hingga aku sadar alm bapakku justru sering ribut dengan ibu tiriku karna tanah ini. Bolehkah aku protes? Aku memilih diam. 

Hari berganti bulan berganti anakku yang sulung ditawari masuk ke sebuah pesantren jarak hampir dua jam perjalanan. Ummi guru ngajinya amat sayang kepada putri sulungku ini. Aku menolak awalnya tawaran itu, mengingat anakku masih kecil usia tujuh tahun lebih dan keadaanku jg tidak baik secara ekonomi. Bagaimana bisa menghidupi anakku di pondok. Kuasa Allah anakku yang saliha bisa masuk pondok tanpa biaya apapun. Baik sandang dan pangan semua digratiskan. Subhanallah jawaban setiap doa seorang ibu. Ini mungkin jawaban atas doa doa anakku yang kerap di bully di sekolahnya terdahulu. Anak anak itu selalu menjauhi anakku, ejekan sudah seperti makanan setiap hari anakku disekolah. Dan aku bersyukur anakku bisa keluar dari lingkaran itu.Disana ia akan hidup dengan baik dan makan yang cukup, tidak saat dia bersamaku dalam keadaan ini. Hidup di pondok menjadikan dia sangat matang dalam bersikap. Matang berbicara, hafalan semakin bagus dan aku sangat bersyukur fondasi agama yang dimiliki anakku mampu ia pahami. Aku teringat, dulu saat kami masih hidup diperantauan dia mampu menjaga kedua adiknya saat aku kerja serabutan ke sana sini. Didewasakan keadaan. 

Sebulan bahkan dua bulan aku dan anak anak bisa bertahan meski hanya makan singkong setiap hari. Mahalnya harga beras serta pekerjaanku yang hanya mengandalkan ladang aku bisa bertahan tanpa satu senpun di perkampungan. Singkong dikampung tidak sampai dua ribu satu kilo. Tapi seliter beras bisa mencapai 16-18 ribu rupiah per liternya. Kami hidup jauh dari apa yang orang fikir.Tapi banyak orang berfikir kami mungkin kurang makan,jadi tidak kaget jika aku sering mendapatkan makanan yang basi diam diam diberikan kepada kedua anakku yg ada dirumah.Entah ini sudah yang kesekian kalinya. Kadang anak bungsuku yang masih berusia tiga tahun merengek betapa bosannya hanya makan singkong setiap hari.Aku sempat berjualan keliling dari desa ke desa lain.Minimal agar anakku bisa makan dengan nasi,dan aku bisa kirim sepuluh duapuluh ribu untuk jajan anakku yg di pondok. Berjualan tidak semulus yang aku fikir.Banyak dagangan habis tapi jualanku juga habis diutangi. Aku selalu berpura pura mengiyakan saat mereka berjanji nanti dibayar begini begitu. Sampai akhirnya ada satu kejadian dimana rumahku didatangi koperasi simpan pinjam. Ternyata alm bapak ku punya tunggakan hutang yang dimana aku sebagai anak harus membayar karna . Dimana ibu tiriku kala itu? Dia lepas tangan. Sungguh dunia ini terlalu kejam buat aku. Ada seorang yang menasehatiku dengan amat baik, coba sesekali berontak jangan seperti ini terus. Tapi bahkan aku untuk bernafas saja sudah sesak sekali. Aku sungguh ingin menyerah. 

Aku menjadi lebih paham kenapa banyak orang lebih memilih mengakhiri hidup mereka. Karna tidak ada tempat yang bisa kita tuju lagi. Jangan tanya dimana saudara sekandungku, mereka sibuk memposting indahnya liburan sana sini pada saat makam bapakku jebol kebawah. Mereka sibuk memamerkan jabatan yang mereka punya bahkan saat ayahku dimakamkan dihari itu. Saat aku meminta bantuan pun seolah aku hanya pesan yang salah sambung.Harta dan tahta sebegitu membutakan mereka. Saat aku berpikir ya Allah apakah benar benar kematian bisa mengakhiri semua ini? Aku teringat betapa polos wajah anak anakku. Akan ke mana mereka saat aku tidak ada? Kepahitan apa yg akan mereka hadapi lagi? Atau haruskah aku mengajak mereka bersamaku? Apakah itu adil? Aku duduk merenung ditepi jurang yang aku tidak tau dalamkah itu, aku hanya ingin mengakhiri. Mengakhiri hidup. 

Sampai akhirnya hujan deras. Aku teringat rumahku yang selalu banjir saat hujan. Teringat anakku yang kutinggalkan dirumah. Aku menangis dalam hujan, berteriak seperti aku hilang kendali. Aku bimbang. Kewarasan yang tertinggal menyelamatkan niatkuniatku hari itu. 

Aku masih hidup dan terus menjalani semua kepahitan yang bergantian. Kepahitan yang seolah bergantian hadir satu persatu. 

Sampai akhirnya menjelang masuk bulan Ramadhan ini,aku diberi kabar bahwa lelaki yang meninggalkanku, dan anak anakku sudah meninggal. Ah tidak mungkin, ini tidak mungkin.Memastikan rasa penasaran kuberanikan diri datang menjumpai Wak Min, beliau yang dulu hadir dalam pernikahanku kebetulan istrinya satu kampung dengan alm mertuaku juga. Dan benar, anakku sudah menjadi Yatim. 

Dapat kabar itu aku tidak bisa merasakan apapun. Entah itu sedih atau kehilangan. Dipikiranku hanya rasa takut bagaimana kelak jika sulungku tau ayahnya sudah meninggal. Banyak bekas buku belajarnya dr sekolah lama dirumah yang ia tulis " Kakak rindu ayah sekali." Meski selama ini dia terlihat baik baik saja tapi hatinya rapuh. 

Apa yang harus aku lakukan. Haruskah ini kurahasiakan sampai akhir? Sampai kapan? Aku mencoba mencari jawaban dengan sujudku kepada Allah setiap malam. Aku hanya meminta kemudahan. 

Beberapa hari lalu kujemput putri kecilku pulang dari pondok. Ini adalah Ramadhan pertama kami dikampung halaman. Dia terlihat begitu ceria. Dia bilang sangat rindu kepada kedua adiknya. Dia bercerita tiada habisnya begitu menyenangkannya teman temannya di pondok. Betapa baik ummi dan abah serta putri pemilik pondok itu kepada kakak. Kakak senang sekali. Shubanallah. 

Sampai akhirnya kemarin malam sedang turun hujan jadi tidak bisa pergi taraweh sama adiknya. Kami tidak punya payung utk dipakai. Dia mengajak adiknya baca hafalan. Kuberanikan  diri utk berbicara. Diawal saja suaraku sudah berhegetar. Aku gelisah. Lalu kujelaskan bahwa dapat kabar ayah sudah meninggal. Dia menatap mataku tanpa berkedip. Kujelaskan bahwa semua yang terjadi adalah izin Allah. Apapun itu. Anakku terdiam. Dan mengangguk. Oh kufikir ini tidak masalah. Tidak apa apa kamu pasti bisa menerima ini kak. 

Malamnya aku mengikat beberapa kayu bakar didapur yang bisa kujual pagi hari. Ada seember keong sawah yang bisa kujual juga. Dengan niatku ingin menyimpan beberapa uang untuk membelikan sepotong ayam untuk lebaran nanti. Tiba tiba anak kedua ku berbisik  "Ibu, Kakak nangis ". Aku terkejut sekali. Kudatangi dan ku coba membujuknya. Gak apa apa kakak boleh nangis, sambil kupeluk. Tidak bisa benar benar kutahan air mataku. 
" Maafkan ayah kakak yah Nak,.. Iklhas kakak yah.. " Ketenangkan hatinya. 
" Kakak rindu ayah bu.. Dimana ayah kakak bu.." Jawabnya sambil menangis. 

Ayah anak anakku dimakamkan di kampung halaman alm mertuaku yang perempuan. Butuh sekitar 6-7 jam perjalanan dari kampungku. Akan sangat sulit aku bisa membawa anakku ke sana mengingat harga ongkos bus yang juga mahal. 

Anak anakku sudah bertahun lamanya tidak berjumpa dengan ayahnya. Alm meninggalkan aku dengan tiga orang anak masih sangat kecil dan memilih mengakhiri semuanya karna perselingkuhan dan KDRT yang cukup berat. Kami ditinggalkan diperantauan sebatang kara kala itu. Bertahun pula memutuskan hubungan,baik kabar apalagi nafkah tidak pernah ada. Dia memilih hidup dengan orang lain dan membuang kami. Lantas apa bisa kematian merubah segalanya? Aku dan anak anakku masih terluka. Sangat terluka. 

Saat hendak tidur anakku memberiku sebuah celengan plastik kecil. 
"Ibu.. Ini uang celengan Kakak, bisakah ibu bawa kakak ke makam ayah? "
Aku terdiam. Kupandang matanya yang sudah membengkak. 
" Apa ibu masih marah dengan ayah? Maafin ayah kakak ibu... " Dia menangis memelukku.. 

Runtuh sekali pertahananku aku memeluk dia kuanggukkan kepalaku. Tidak tau aku menjelaskan perasaan macam apa yang ada di kepala ku. Aku bersedih, aku marah, aku kecewa. Semua itu bercampur. 
Ternyata selama ini anakku menabung seribu dua ribu dari beberapa kali aku menitipkan  uang jajannya ke pondok. Dan semua uang itu dia tabung. 
" Tadinya uang ini mau kakak kasih buat ibu beli ayam buat kita masak lebaran bu. Tapi gak apa apa lebarannya gak masak apa apa ya bu.. Buat ongkos kita ke makam cukup gak bu?"

Ya Allah..
 Aku kehilangan kata kata. Sepanjang malam kupandang celengannya. Sepanjang malam ku ingat betapa bahagianya keluargaku dulu saat anak pertamaku lahir. Sepanjang malam kuingat betapa menderitanya kami selama ini bahkan pernah tidak makan satu hari penuh. Betapa menderitanya anak anakku selalu dikucilkan teman temannya. Betapa menyakitkan tapi semua ini ya Allah. Satu hal yang kubisikkan malam itu. 

" Ya Allah... Aku ingin tenang. 

Akhirnya.. 
Jumat barokah ini ku amalkan niat membawa anakku menjumapai makam ayahnya. Kami berangkat subuh hingga sampai zuhur dikampung alm mertua. Sepanjang jalan aku mengusap air mataku. Bagai berkedip mata begitu cepat waktu berlalu aku mendatangi tempat ini lagi. Aku melihat semua tempat sudut jalan yang sudah berubah. Ku ingat banyak kenangan yang ku lewati disini. Sampai akhirnya kita berjumpa, aku berdiri dan kau didalam sana. 

Assalammualaikum .. Bagaimana kabarmu selama ini? Aku datang bersama anak anak kita. Mengapa pergi tanpa pamit? Kau bukan hanya meninggalkan tapi benar benar hilang? Istirahatlah. Bawalah semua kenangan indah saja. Biarlah kenangan buruk antara kau dan aku berakhir disini. Hari ini. Istirahatlah dengan tenang. 

" Ayah.. Ini kakak abang sama dedek dan ibu datang.. Ayah.. Sudah dirumah Allah ya. Baik baik ayah disana ya. Kakak rindu sekali ayah. Ayah rindu kakak tidak? Maafin kakak ya yah , kakak juga sudah maafkan semua kesalahan ayah kok. Kaka sayang ayah. Boneka yang ayah kasih selalu kakak peluk tidur, kakak bawa ke pondok. Kakak selalu do'ain ayah. . "

Pecah sudah tangisnya. Baru ini aku melihat putriku menangis begitu kencang. Makasih udah kuat kak. Makasih banyak. 

Kami pun harus lekas pulang, tidak ada tempat untuk bermalam. Langsung mengejar bus di loket untuk pulang. Sepanjang jalan anakku hanya menatap keluar melalui kaca. Kupeluk dia aku tau tidak ada yang mudah untuknya. Terimakasih ya Allah memberiku anak anak baik dalam perjalanan hidup ku ini. 

Ramadhan kali ini benar benar memberi keberkahan hati yang luar biasa. Disaat orang orang sibuk wara wiri disana sini, menyiapkan segala hal. Aku justru bertarung kembali dengan mentalku. Aku pernah merasakan lelah hidup yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata atau kalimat. Aku gak pernah tau entah sejauh apa aku bisa kuat sejauh apa aku bisa menjadi waras esok hari. Aku pernah dititik itu. Tapi pada akhirnya aku berjuang. Sendirian. Aku pernah berfikir tidak bisakah orang orang yang menyakitiku datang lalu berkata maaf karena menyakitiku begitu dalam. Tapi ternyata aku tidak butuh itu sama sekali. Maaf mereka tidak akan bisa menyembuhkan luka yang sudah mereka buat. Aku harus memaafkan semua perlakuan hidup yang tidak baik selama aku hidup. Baik dari keluargaku dan juga pasangan hidup. Aku ingin tidak ada nama seseorang lagi yang ku ingat dalam  kepedihan. Aku ingin hidup lebih lama. Anak anak hanya punya aku. 

Hanya aku. 

Genggam dan jaga orang orang disamping kalian. Jika rasa syukurmu menjadi meningkat membaca ini semua ingatlah betapa sudah berjuangnya orang orang disamping kalian selama ini. Ramadhan bukan sebatas berbaju baru, kue aneka macam. Tapi lihat betapa baiknya Allah masih memberi kalian kehidupan yang cukup. Jangan membandingkan diri dengan diatasmu. Banyak banyak lihat ke bawah. Percayalah dunia ini tidak dihuni orang orang sempurna. Jika dirimu sedang terpuruk seperti aku. Ayo menangis bersama. Lalu berjanji hidup lebih baik lagi esok hari. Mari bersabar karna kita percaya kuasa Allah tidak ada batasnya. 

Terimakasih yang sudah mau membaca kisah ini. Setelah lebih dari sembilan bulan absen tidak menulis apapun lagi. Merasa lelah mental sekali. Terimakasih jika diberi respon yang baik. Maaf jika penulisannya sangat belepotan. Karna menulisnya dalam bus pulang. Hanya ingin menuliskan banyaknya beban didada yang tidak tau harus kemana ditumpahkan. Doakan anak anakku jadi kebanggaan kelak ya, saling menjaga, melengkapi dan membantu satu sama lain.Doakan kelak kami bisa bersama sama hingga di surga kelak. Aamiin... 

 Terimakasih banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teh tubruk khas Slawi tegal

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu.

Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Ternyata jadi janda nggak seburuk itu. Lebih bahagia malah, lebih banyak waktu buat diri sendiri. Kar...